Pidana Bagi Orang Tua Yang “Menculik” Anak Kandungnya

By M. Andi Anwar SH., MH. 23 January 2025
Array

Pidana Bagi Orang Tua Yang “Menculik” Anak Kandungnya

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/PUU-XXI/2023

Siang itu Kami tiba di Pengadilan Agama Tigaraksa untuk menangani suatu perkara. Suasananya rame seperti biasa, wanita dan pria paruh baya, serta anak-anak kecil dan bayi dalam gendongan neneknya.

Pada tanggal 22 Januari 2025 saat tulisan ini dibuat, paling tidak sudah 633 perkara terdaftar pada register dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Agama Tigaraksa, yang didominasi kasus perceraian. Itu baru satu pengadilan agama saja, bagaimana dengan pengadilan agama atau pengadilan negeri yang lain, tentu angka perceraian selalu tertinggi.

Tingginya angka Perceraian di Indonesia tidak hanya berdampak terhadap pasangan suami – istri yang bercerai, tetapi juga terhadap keluarga serta anak-anak mereka.

Banyak kekhawatiran terhadap peristiwa tersebut, karena biasanya yang paling berdampak akibat dari perceraian adalah anak-anak, yang dapat mengganggu sisi psikologisnya dalam jangka Panjang, akibat perseteruan orang tua mereka. Apalagi anak-anak merupakan saksi hidup yang merasakan kondisi di rumah pra perceraian, percekcokan antara orang tua mereka disimpan dalam memori yang masih belia.

Setelah perceraian pun, prahara antara mantan istri dan mantan suami masih terjadi. Biasanya terkait dengan hak asuh terhadap anak-anak mereka. Bahkan tidak sedikit terjadi peristiwa orang tua yang mengambil atau merebut anak mereka, padahal hak asuh/pemeliharaan anak bukan berada pada dirinya.

Hak Asuh Anak

Bahwa hak asuh anak atau pemeliharaan anak yang belum berumur 12 tahun merupakan hak dari ibunya, sebagaimana Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan, dalam hal terjadi perceraian maka pemeliharaan anak yang belum berumur 12 tahun (belum mumayyiz) adalah hak ibunya. Apabila anak sudah berumur 12 tahun (mumayyiz) maka ia dapat memilih sendiri hak itu diberikan kepada ayah atau ibunya.

Walaupun terdapat kondisi apabila ibunya tidak memiliki kualitas yang layak sebagai ibu yang tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak atau alasan lain, sehingga apabila terjadi maka hak asuhnya dapat jatuh kepada ayahnya atau keluarga lainnya sebagaimana Pasal 156 KHI, walaupun belum berumur 12 tahun.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/PUU-XXI/2023

Perkara tersebut diajukan oleh beberapa wanita yang telah bercerai dengan suaminya, dan oleh pengadilan dinyatakan sebagai pemegang hak pemeliharaan dan pengasuhan anak. Akan tetapi mantan suami membawa kabur anak dan menutup akses untuk dapat bertemu dengan anak.

Mereka pun pasalnya telah membuat laporan polisi terkait kejadian tersebut, dengan memakai pasal 330 ayat (1) KUHP yang berbunyi, Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Akan tetapi laporan tersebut tidak dapat ditindak lanjuti sebagai mana mestinya, karena yang melakukan perbuatan tersebut adalah ayah kandung dari anak tersebut.

Oleh karena itu, permohonan pemohon pun berkaitan dengan pemaknaan frasa “barang siapa” dalam pasal 330 ayat (1) KUHP, dengan dimaknai tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung, sehingga dapat dikenai pertanggungjawaban pidana atas tuduhan menculik anak kandung sendiri.

Pasal 330 KUHP, Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur dua belas tahun, dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Presiden/Pemerintah diwakili oleh Dirjend Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Asep Nana Mulyana, menjelaskan menurut Pemerintah, laporan tidak ditindaklanjuti dengan alasan yang melakukan perbuatan adalah ayah kandung dari si anak sendiri, merupakan alasan yang kurang tepat. Karena jika laporan tersebut tidak ditindaklanjuti, maka secara hukum dampak yang dilakukan terlapor tidak dapat diukur secara hukum apakah perbuatan ayah yang dituduh membawa anak dari ibu kandungnya berdampak positif atau negatif terhadap si anak. Meskipun terlapor adalah ayah dari anak, namun jika adanya laporan yang merupakan kepentingan hukum pelapor tetap harus ditindaklanjuti sebagai upaya negara untuk melindungi si anak dari perbuatan yang berdampak tidak baik serta dalam rangka mencegah perbuatan yang dapat memisahkan dan menutup akses anak dengan orang tuanya.

Walaupun Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon tersebut, akan tetapi pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi membuat jelas persoalan yang diapresiasi banyak pihak.

Mahkamah Konstitusi berpandangan dalam pertimbangan hukumnya halaman 129-131,

  • “Bahwa subjek hukum yang menjadi sasaran norma menggunakan frasa “barang siapa” seperti dalam ketentuan Pasal 330 ayat (1) KUHP maupun dalam rumusan pasal-pasal lain dalam KUHP yang bersifat umum dan tidak memberikan limitasi, pengecualian atau kualitas terhadap orang sebagai subjek hukum (naturalijk person). Berkenaan dengan hal tersebut, dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada Bab I Kerangka Peraturan Perundang-Undangan angka 119 disebutkan jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subjek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frasa “setiap orang”. Untuk itu, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU 1/2023) yang akan berlaku pada Januari 2026, rumusan Pasal 330 ayat (1) KUHP telah diperbaki dan disesuaikan dengan kaidah perumusan melalui penggunakan frasa “setiap orang”. Pasal 452 ayat (1) UU 1/2023 menyatakan, “Setiap Orang yang menarik Anak dari kekuasaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditentukan atas dirinya atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.” Artinya, tanpa harus merujuk kepada UU 1/2023, pemaknaan frasa “barang siapa” telah dinyatakan dengan tegas dalam Lampiran II angka 119 UU 12/2011 dimaknai sebagai “setiap orang”. Terlebih, berkenaan dengan pemaknaan dimaksud, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 September 2021 dalam pertimbangan hukumnya antara lain menyatakan, apabila ketentuan pidana berlaku bagi siapapun (baik natural maupun legal person) maka subyek hukum dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang, namun apabila ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, maka subjek tersebut dirumuskan secara tegas, misalnya orang asing, pegawai negeri, saksi [vide angka 119 dan angka 120 Lampiran II UU 12/2011]. Oleh karena itu, penggunaan frasa “barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP yang sama dengan pasal-pasal lainnya dalam KUHP sebenarnya mengandung makna “setiap orang”, tanpa memaknai kualitas atau kualifikasi tertentu. Dengan demikian, dalam konteks Pasal 330 ayat (1) KUHP, frasa “barang siapa” dengan sendirinya juga telah mencakup ayah atau ibu kandung anak karena kata tersebut memang mengandung makna “setiap orang”. 
  • Bahwa selain memuat addressaat norm dengan menggunakan frasa “barang siapa”, Pasal 330 ayat (1) KUHP juga memuat perbuatan yang dilarang (straafbaar) yakni “dengan sengaja menarik seseorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan yang berwenang”. Dalam hal ini mencakup juga perbuatan dari orang tua kandung anak bukan pemegang hak asuh anak yang melakukan pengambilan paksa dan menguasai anak dapat dianggap merupakan tindak pidana sepanjang perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana. Sehingga, meskipun yang mengambil anak adalah orang tua kandung, jika dilakukan secara paksa tanpa hak/izin maka tindakan tersebut termasuk dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP. Artinya, jika pengambilan anak oleh orang tua kandung yang tidak memiliki hak asuh atas putusan pengadilan dilakukan dengan tanpa sepengetahuan dan seizin dari orang tua pemegang hak asuh, terlebih dilakukan dengan disertai paksaan atau ancaman paksaan maka tindakan tersebut dapat dikategorikan melanggar Pasal 330 ayat (1) KUHP. Oleh karena itu, dalam menerapkan Pasal 330 ayat (1) KUHP harus terdapat bukti bahwa kehendak untuk mengambil anak tanpa seizin orang tua pemegang hak asuh benar-benar datang dari pelaku yang sekalipun hal tersebut dilakukan oleh orang tua kandung anak. 
  • Lebih lanjut, menurut Mahkamah terhadap persoalan yang dihadapi oleh para Pemohon, yaitu tidak diterimanya laporan para Pemohon bahwa terlapor bukan sebagai pelaku tindak pidana dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP, terhadap hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Namun, jika mencermati penegasan Mahkamah dalam pertimbangan hukum di atas, seharusnya tidak ada keraguan bagi penegak hukum, khususnya penyidik Polri untuk menerima setiap laporan berkenaan dengan penerapan Pasal 330 ayat (1) KUHP, dikarenakan unsur barang siapa yang secara otomatis dimaksudkan adalah setiap orang atau siapa saja tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ini adalah orang tua kandung anak baik ayah atau ibu.”   

Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi jelas dan tegas mengenai frasa “barang siapa” pada Pasal 330 ayat (1) KUHP dimaknai dengan sendirinya juga telah mencakup ayah atau ibu kandung anak karena kata tersebut memang mengandung makna “setiap orang”. Sehingga orang tua yang mengambil anak dilakukan tanpa sepengetahuan dan seizin dari orang tua pemegang hak asuh yang dilakukan dengan disertai paksaan atau ancaman paksaan, maka dapat dikategorikan melanggar Pasal 330 ayat (1) KUHP, dengan ancaman pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Maka penegak hukum (Polri) apabila menemui perkara yang serupa, dapat segera menindaklanjutinya walapun perbuatan pengambilan anak itu dilakukan oleh ayah kandung atau ibu kandungnya.

Pada KUHP baru, Norma yang termuat dalam pasal 330 ayat (1) KUHP telah diperbaiki Pasal 452 ayat (1) KUHP Baru yang menyatakan, “Setiap Orang yang menarik Anak dari kekuasaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditentukan atas dirinya atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Aturan KUHP Baru yang akan berlaku pada tahun 2026 tersebut telah mengubah frasa “barang siapa” menjadi “setiap orang”.

Sesuai dengan penegasan Mahkamah Konstitusi frasa “barang siapa” atau “setiap orang” pada norma tersebut sendirinya juga telah mencakup ayah atau ibu kandung anak, sehingga tidak ada lagi alasan untuk mengenyampingkan apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh ayah atau ibu kandung anak.

Postingan Lainnya

Pemakzulan, Sejarah proses dan tatacaranya di Indonesia

Pemakzulan, Sejarah proses dan tatacaranya di Indonesia Akhir-akhir ini isu mengenai pemakzulan Presiden kian santer…

Sengketa Arbitrase Dan Pembatalan Putusannya

Sengketa Arbitrase Dan Pembatalan Putusannya Penyelesaian sengketa pada lembaga arbitrase merupakan penyelesaian sengketa diluar peradilan…

Menggugat Penggugat (Mengenal Gugatan Rekonvensi)

Menggugat Penggugat (Mengenal Gugatan Rekonvensi) Dalam penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan, pihak yang digugat yaitu…