Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 1904 K/Pdt/2007
Perkawinan merupakan ikatan yang sah antara seorang laki-laki dan seorang Perempuan, sebagaimana yang diatur dalam pasal 26 Burgerlick Wetboek (BW), yaitu suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang di tetapkan dalam kitab undang-undang hukum perdata.
Perkawinan tidak hanya dilihat dari aspek keperdataan saja, namun juga meliput kepentingan hukum adat dan hukum agama, sebagaimana pengertian Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, “Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pasal ini menekankan perkawinan membentuk keluarga bahagia dan kekal dalam rangka menjalankan ibadah kepada Allah Tuhan yang Maha Esa, sebagai hubungan yang suci.
Namun, pada kenyataannya aturan agama sudah tidak lagi diindahkan oleh kebanyakan orang, sehingga perceraian terjadi dengan sangat mudah, hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah kasus perceraian di Pengadilan Agama, yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan cukup signifikan.
Tetapi, bagaimana apabila dalam pernikahan timbul utang/hutang antara suami-istri dengan pihak ketiga.
Contoh:
- Pasangan suami-istri yang tinggal di Jabodetabek, yang mengambil cicilan KPR Rumah selama 15 Tahun, kemudian 2 tahun kemudian suami dan istri bercerai. Atau;
- Pasangan suami-istri yang berhutang untuk dipergunakan untuk membuka kegiatan usaha, kemudian 2 tahun kemudian suami dan istri bercerai;
Bahwa dari perceraian suami – istri diatas, pasti akan menimbulkan konflik permasalahan hukum.
Utang/Hutang merupakan salah satu bentuk perjanjian yang diatur di dalam Buku III KUH Perdata, yang selain diatur pada Pasal 1320 tentang Syarat Sah perjanjian, juga tunduk pada asas-asas perjanjian antara lain asas kebebasan berkontrak, asas konsensual, asas itikad baik dan bepatutan, dan asas pacta sun servanda.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, ada empat syarat yang diperlukan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu:
- kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- suatu pokok persoalan tertentu; dan
- suatu sebab yang tidak terlarang.
Kemudian pada Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan,
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”
Bahwa menurut hukum, perceraian tidak mengakibatkan salah satu pihak dibebaskan dari kewajiban membayar hutang, yang dibuat pada saat masih terikat dalam suatu perkawinan/pernikahan. Sehingga suami – istri yang telah bercerai tersebut masih menanggung hutang dan memiliki kewajiban bersama untuk melunasi hutang tersebut.
Bahwa persetujuan yang dilakukan bersama saat dalam pernikahan masih terikat diantara keduanya, walaupun dalam status hubungan antara suami – istri telah bercerai. Karena semua hutang-hutang yang terjadi pada saat pernikahan/selama pernikahan adalah tanggung jawab bersama.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 1904 K/Pdt/2007, yang mana Suami telah melakukan hubungan hukum yaitu meminjam uang seluruhnya berjumlah Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar), kemudian uang tersebut dijadikan modal usaha dalam mengembangkan perusahaan dibidang jasa.
Setelah hutang jatuh tempo, ternyata suami tidak melaksanakan kewajibannya, sedangkan sang istri merasa tidak memiliki kewajiban hutang tersebut karena seluruh keuangan dipergunakan oleh suami. Kemudian antara suami – istri terjadi perselisihan rumah tangga sehingga terjadi perceraian.
Pada Pengadilan tingkat pertama telah memutuskan bahwa pasangan tersebut wajib untuk membayar lunas hutang-hutang tersebut secara tanggung renteng. Putusan Pengadilan Tingkat pertama kemudian dibatalkan oleh Pengadilan tingkat banding yang kemudian hanya mewajibkan pihak suami saja untuk membayar, dengan alasan sejak terjadinya kemelut rumah tangga di antara mereka, serta tidak ada persetujuan dari isteri, maka pengakuan atas pinjaman-pinjaman tersebut hanya mengikat pihak suami saja.
Kemudian pada Judex Juris Mahkamah Agung, dalam pertimbangannya menyatakan, secara materiil maupun formil, perbuatan yang dilakukan oleh suami dilakukan secara sah dan diketahui oleh istri, maka sekalipun telah terjadi perceraian, hubungan hukum tidak putus karena perceraian dan hubungan hukum secara perdata tentang hutang-piutang tetap melekat dan wajib dibayar oleh suami dan istri.
Kemudian dengan mempertimbangkan fakta bahwa hutang-hutang tersebut terjadi pada saat perkawinan berlangsung dan mempertimbangkan ketentuan Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/1974 yang ditafsirkan a contrario, maka semua hutang-hutang yang terjadi pada saat perkawinan/selama perkawinan adalah tanggungjawab bersama. Karenanya, baik suami maupun isteri, bertanggungjawab untuk membayar pelunasan hutang tersebut secara tanggung renteng.
Sehingga Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 1904 K/Pdt/2007, menegaskan dan memperkuat bahwa yang termasuk dalam harta bersama, bukan hanya dalam bentuk harta benda (keuntungan) yang dimiliki, namun juga hutang-hutang yang terjadi pada saat perkawinan berlangsung.
Penafsiran bahwa ruang lingkup harta bersama tak hanya meliputi keuntungan namun juga beban/hutang, sesuai dengan ketentuan KUH Perdata, yaitu Pasal 121 KUH Perdata yang mengatur bahwa
“Berkenaan dengan beban-beban, maka harta bersama itu meliputi semua utang yang dibuat oleh masing-masing suami isteri, baik sebelum perkawinan maupun setelah perkawinan maupun selama perkawinan.”