Akhir-akhir ini isu mengenai pemakzulan Presiden kian santer terdengar, walaupun dalam beberapa tahun belakangan isu tersebut muncul dan tenggelam seiring dengan pergolakan politik di Indonesia. Lantas apa yang dimaksud dengan pemakzulan itu sendiri? Menurut KBBI Kata tersebut berasal dari kata “Makzul” yang berarti, berhenti memegang jabatan atau turun takhta. Sedangkan Pemakzulan sendiri berarti, proses, cara, perbuatan memakzulkan atau yang lebih dikenal dengan istilah Bahasa inggris yaitu impeachment yang berarti pelengseran.
Penulis lebih condong memaknai pemakzulan atau impeachment Presiden merupakan suatu upaya untuk menurunkan atau memberhentikan Presiden atas tuduhan pelanggaran hukum atau pelanggaran etika (tercela) pada masa jabatannya yang diajukan oleh lembaga parlemen. Maka terjadi proses gugatan dan bantahan atas tuduhan tersebut, yang hasil akhirnya bisa saja tuduhan tersebut terbukti atau malah tidak terbukti sama sekali. Sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan untuk mudah memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden begitu saja.
Di Amerika Serikat, telah terjadi banyak upaya pemakzulan, akan tetapi tidak semua Presiden yang dituduhkan tersebut berhasil untuk di makzulkan. Seperti yang terjadi pada Presiden Amerika Donalt Trump yang dua kali dilakukan upaya pemakzulan, yang pada akhirnya Senat membebaskan Presiden Donalt Trump dari kedua tuduhan tersebut. Aturan mengengai pemakzulan di Amerika Serikat terdapat pada konstitusinya Article II, Section 4 yaitu:
The President, Vice President and all civil Officers of the United States, shall be removed from Office on Impeachment for, and Conviction of, Treason, Bribery, or other high Crimes and Misdemeanors. (Presiden, Wakil Presiden, dan semua Pejabat sipil Amerika Serikat, akan diberhentikan dari Jabatan Pemakzulan dan Hukuman atas Pengkhianatan, Penyuapan, atau Kejahatan dan Pelanggaran Berat lainnya.)
Di Indonesia, perlu dipahami secara utuh dan seksama sebelum terjadi amendemen Konstitusi UUD 1945 pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002, dalam Konstitusi UUD 1945 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat penuh dan sebagai Lembaga tertinggi yang memilih serta memberikan mandat kepada Presiden. Sebagaimana pada pasal 1 ayat 2 UUD 1945:
Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pasal 6 ayat 2 UUD 1945,
Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak.
Pemakzulan Presiden Soekarno
Presiden pertama Republik Indonesia, sang proklamator ir. Soekarno merupakan Presiden pertama yang dilengserkan, dicabut kekuasaannya atau dimakzulkan oleh MPR, pasca terjadi huru-hara dan gojang-ganjing politik serta G30S/PKI. Kejadian itu bermula dari keadaan yang begitu genting di masyarakat yang berkaitan dengan PKI, kemudian Presiden Soekarno memberikan mandat kepada Soeharto selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto melalui “Surat Perintah” atau yang dikenal dengan “Supersemar (surat perintah sebelas maret)”.
Setelah mendapat mandat dari Presiden Soekarno untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik, Soeharto pada 12 Maret 1966 mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/3/1966, untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang. Bahwa Soeharto kemudian mengeluarkan surat perintah penangkapan kepada 15 Menteri yang diduga berhubungan erat dengan PKI atau G30S/PKI.
Beberapa bulan setelah peristiwa diatas, MPRS menggelar Sidang Umum, Presiden Soekarno dimintai pertanggungjawaban tentang situasi yang terjadi sepanjang tahun 1965-1966. Singkatnya pertanggungjawaban tersebut yang tertuang dalam pidato Nawaskara Soekarno, tidak diterima oleh MPRS, karena tidak memuat secara jelas per-tanggungan-jawab tentang kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan kontra-revolusi, G-30-S/PKI serta kemunduran ekonomi dan kemerosotan akhlak.
Kemudian dalam beberapa waktu, paling tidak ada tiga Ketetapan penting yang dikeluarkan MPRS :
- Ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966 TAHUN 1966 Tahun 1966 Tentang Surat perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata RI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS RI.
- Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966 TAHUN 1966 Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara RI Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
- Ketetapan MPRS RI No. XXXIII/MPRS/1967 Tahun 1967 Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Presiden Sukarno.
Maka dengan pergolakan politik yang panjang, berdasarkan TAP MPRS RI No. XXXIII/MPRS/1967 Tahun 1967, menyebabkan dicabutnya kekuasaan Presiden Soekarno yang melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik serta menarik Kembali mandat MPRS, serta mengangkat Jenderal Soeharto yang mengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR.
Pemakzulan Presiden Gus Dur
Presiden Keempat RI, Abdurrahman Wahid atau akrab disebut Gus Dur, merupakan presiden kedua yang dilengserkan, dicabut kekuasaannya atau dimakzulkan oleh MPR, atas perseteruan dengan Parlemen, serta berbagai tuduhan termasuk tuduhan kasus korupsi.
Sebelumnya pada tahun 1978, MPR mengeluarkan Tap MPR No. III/MPR/1978 Tahun 1978 Tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, yang salah satu fokus utamanya adalah aturan pemakzulan Presiden. Dalam aturan tersebut, MPR dapat memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatannya karena “Sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara”. Atas pelanggaran Haluan Negara oleh Presiden, adalah kewenangan dari DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden, apabila selama tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum pertama tersebut, maka DPR harus menyampaikan memorandum kedua untuk mengingatkan Presiden, kemudian terakhir apabila dalam satu bulan memorandum kedua tidak diindahkan, maka DPR dapat meminta MPR untuk mengadakan sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.
Pada masa Pemerintahan Gus Dur, dianggap kerap mengeluarkan keputusan kontroversial dan memicu gejolak politik. Salah satu contohnya mengenai pencabutan Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966 TAHUN 1966 Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pencopotan berbagai Menteri seperti pencopotan Jusuf Kalla selaku Menteri Perdagangan dan Perindustrian, dan pencopotan Laksamana Sukardi selaku Menteri BUMN, serta pencopotan Kapolri Surojo Bimantoro, pembubaran Departemen Sosial (Depsos) dan Departemen Penerangan (Deppen).
Kemudian Presiden Gus Dur diduga melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas KKN, yang dikaitkan dengan tuduhan keterlibatan dalam penyelewengan dana Yanatera Bulog dan Sumbangan Kerajaan Brunei untuk Aceh, yang menjadi pintu masuk lengsernya Presiden Gus Dur dari kekuasaan Presiden.
DPR mengajukan memorandum I kepada Presiden Gus Dur, yang dilandaskan dari hasil Pansus Kasus penyelewengan dana Yanatera Bulog dan Sumbangan Kerajaan Brunei. Selanjutnya Memorandum II yang berisi tentang tindakan Presiden yang dianggap melanggar Haluan Negara. Kemudian DPR meminta kepada MPR untuk segera melaksanakan Sidang Istimewa (SI) untuk meminta pertanggungjawaban Presiden pada tanggal 1 Agustus 2001. Akan tetapi gejolak politik atas konflik yang tak ujung reda, Sidang Istimewa dipercepat menjadi tanggal 23 Juli 2001. Pada dini hari tanggal 23 Juli 2001 (Pukul 01.05 WIB), Presiden Gus Dur mengumumkan Maklumat Presiden (atau yang lebih dikenal dengan Dekrit Presiden) yang membekukan MPR dan DPR. Kemudian Sidang Istimewa terselenggara pada 23 Juli 2001, majelis mengambil sikap atas Maklumat/Dekrit Presiden yang dikukuhkan dalam Ketetapan MPR RI No. I/MPR/2001 yang pokoknya menyatakan Maklumat Presiden RI 23 Juli 2001 adalah tidak sah karena bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Kemudian satu peristiwa yang sangat penting dalam Sejarah Indonesia pada Sidang Istimewa 23 Juli 2001 yaitu pencabutan mandat Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia.
Bahwa dari kedua peristiwa dilengserkannya Presiden sebelum habis masa jabatannya diatas, impeachment dilaksanakan oleh MPR selaku Lembaga tertinggi Negara dan pemegang kedaulatan rakyat, yang memiliki hak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
Pemakzulan Pasca Amandemen UUD 1945
Pasca amandemen UUD 1945, kedudukan MPR tidak lagi menjadi Lembaga tertinggi negara dan pemilihan Presiden dilaksanakan oleh rakyat secara langsung, serta lahir beberapa Lembaga negara, termasuk Mahkamah Konstitusi.
Secara ketatanegaraan hal mengenai impeachment, terjadi perubahan dan perkembangan yang lebih lanjut diatur dalam amandemen konstitusi UUD 1945. Walaupun demikian, semenjak dilengserkannya Presiden Gus Dur pada tahun 2001 hingga sekarang (awal tahun 2024), belum pernah ada satupun Presiden dan/atau Wakil Presiden yang di-impeatch.
Pasca amendemen UUD 1945, MPR masih memiliki kewenangan untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden sebelum habis masa jabatannya, sehingga MPR lah yang berwenang untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden, tetapi melalui mekanisme usul DPR, kemudian atas tuduhan DPR, masalah tersebut dibawa ke Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Yudikatif yang memeriksa dan memutus secara adil, apakah terbukti atau tidak tuduhan yang dimaksud. Apabila terbukti hasil Putusan Mahkamah Konstitusi, maka akan dibawa ke MPR dan MPR lah yang kemudian akan mengambil keputusan untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden atau tidak.
Pemakzulan yang ada pada Konstitusi amandemen UUD 1945, memiliki proses yang cukup dan juga memberi ruang yang proposional untuk menguji dan memutuskan kesalahan yang terjadi di Lembaga Yudikatif, yaitu pada Mahkamah Konstitusi. Sehingga pemakzulan melalui proses yang dewasa ini lebih bisa menilai secara objektif dan komprehensif apakah Presiden/Wakil Presiden pantas atau tidak untuk dilengserkan, dan tidak hanya berkutat pada gejolak masalah politik, tetapi fokus terhadap pelanggaran hukum atau perbuatan tercela yang dilakukan.
Pasal 7A UUD 1945 jelas menyebutkan, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Sehingga jelas dan nyata, Presiden/Wakil Presiden dapat dimakzulkan apabila terbukti melakukan:
- Pelanggaran Hukum: Pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapanm Tindakan berat lainnya; atau
- Perbuatan tercela.
Mekanisme Pemakzulan Presiden/Wakil Presiden RI:
- DPR mengajukan Pemakzulan kepada Mahakamah Konstitusi, dengan dihadiri 2/3 anggota DPR dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 anggota yang hadir;
- Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan oleh DPR tersebut selama 90 Hari;
- Apabila Mahkamah Konstitusi dalam putusannya terbukti tuduhan yang dimaksud, maka DPR menyelenggarakan rapat untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR;
- MPR wajib memutuskan pemberhentian atau tidak, paling lambat 30 hari sejak menerima usul dari DPR. Keputusan tersebut harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 anggota;
- Presiden/Wakil Presiden menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR;
- MPR kemudian memutuskan untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dengan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota yang hadir dari 3/4 anggota MPR;