Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden) Membatalkan Sebuah Perjanjian

By M. Andi Anwar SH., MH. 29 September 2023
Array

Sebagaimana yang diketahui, pada umumnya suatu Perjanjian harus dibuat dengan memenuhi standart aturan pejanjian yang diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yiatu terdapat empat syarat yang diperlukan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum:

  • Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  • kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  • suatu pokok persoalan tertentu; dan
  • suatu sebab yang tidak terlarang.

Kemudian dilanjutkan pada Pasal 1321 KUH Perdata menyebutkan, “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.”

Sehingga apabila tidak terpenuhi empat syarat yang diatur pada Pasal 1320 KUH Perdata atau terdapat kekhilafan (kekhilafan mengenai obyek yang menjadi pokok perjanjian), paksaan ataupun tipuan, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang tidak sah dan tidak dapat mengikat kepada para pihak yang membuatnya.

perjanjian yang dibuat dibawah tekanan atau dalam keadaan terpaksa dapat mengakibatkan perjanjian  dibatalkan, karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur pasal 1320 KUH Perdata, sebab tidak ada kehendak yang bebas dari salah satu pihak dalam perjanjian yang dirugikan

M. Andi Anwar, SH., MH.

Dalam praktek hukumnya, selain dengan alasan-alasan yang dinyatakan dalam Pasal 1320 dan 1321 KUHPerdata, terdapat beberapa putusan pengadilan yang membatalkan suatu perjanjian dikarenakan Hakim berpendapat di dalam perjanjian tersebut, terdapat penyalahgunaan keadaan atau misbruik van omstandigheden.

Secara patut perjanjian harus tunduk pada hukum kebiasaan dan kepatutan. Kepatutan dan kerasionalan perjanjian dinilai dari itikad baik yang melatari lahirnya perjanjian tersebut. Yang mana, itikad baik akan diukur dari isi perjanjian dan berimbangnya kedudukan para pihak dalam perjanjian.

Idealnya para pihak dalam perjanjian harus equal tapi pada prakteknya kerap tidak mungkin terjadi. Ketimpangan kedudukan para pihak dapat menyebabkan penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang lebih dominan. Penyalahgunaan keadaan merupakan pemanfaatan kelemahan suatu pihak oleh pihak lawan agar pihak tersebut mengikuti kehendaknya.

Bahwa penerapan penyalahgunaan keadaan atau misbruik van omstandigheden, merupakan terobosan hukum di Indonesia yang belum diatur dalam KUH Perdata.

Akan tetapi pada prakteknya penyalahgunaan keadaan sudah dikenal dan diterapkan di Negeri Belanda,

Terdapat 2 putusan di Negeri Belanda terkait doktrin penyalahgunaan keadaan atau Misbruik van Omstandigheden:

  1. Putusan Hoge Raad pada tahun 1957 dalam perkara BOVAG arrest II-HR tertanggal 11 Januari 1957 dimana Hoge Raad menyatakan:

“Suatu persetujuan bisa saja tidak memiliki sebab yang sah, sehubungan dengan pengaruh-pengaruh khusus, yang berperan pada saat pembuatan persetujuan, yang didalamnya pihak yang dirugikan menanggung beban yang tidak seimbang dengan yang semestinya satu dan lain disebabkan tekanan situasi dan kondisi yang disalahgunakan oleh pihak lawannya.”

Dari pertimbangan tersebut diatas, kita bisa mengetahui bahwa Hoge Raad mengakui adanya Penyalahgunaan Keadaan atau Misbruik van Omstandigheden sebagai alasan pembatalan perjanjian. Dalam kasus tersebut, menurut Hoge Raad, penyalahgunaan keadaan yang terjadi adalah penyalahgunaan keunggulan ekonomi.

Sehingga adanya penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian setidaknya adanya pihak yang dirugikan dan penyalahgunaan keadaan tersebut dilakukan oleh pihak yang lebih kuat.

2. Selanjutnya, Putusan Hoge Raad tertanggal 29 Mei 1964 dalam perkara Van Elmbt vs Feierabend yang menerapkan ajaran penyalahgunaan keadaan jika dilihat dari pertimbangan hakim dalam putusan tersebut, yang mana menyebutkan:

“Untuk kebatalan suatu persetujuan sebagai akibat penyalahgunaan keadaan sama sekali tidak perlu adanya suatu jumlah atau suatu bentuk kerugian tertentu. Tetapi dalam kaitannya dengan setiap persetujuan secara terpisah, kerugian yang diderita salah satu pihak, hanya merupakan salah satu faktor, yang disamping berbagai kekhususan lain yang telah berperan pada pembentukan persetujuan, seperti sifat-sifat keadaan yang dipakai, cara hal tersebut dipergunakan dan hubungan serta perimbangan antara para pihak menentukan apakah persetujuan diadakan berdasarkan suatu sebab yang bertentangan dengan kesusilaan.”

Maka dalam putusan diatas, Hakim menyatakan bahwa perjanjian adalah batal, sekalipun hanya ada penyalahgunaan keadaan didalamnya. Oleh karena kedua putusan tersebut, kita bisa mengetahui bahwa Hukum Belanda mengenal doktrin Penyalahgunaan Keadaan atau Misbruik van Omstandigheden sebagai alasan pembatalan perjanjian.

Kemudian di Negeri Belanda, aturan mengenai Penyalahgunaan Keadaan atau Misbruik van Omstandigheden diatur pada Article 3:44 lid 1 amandemen Nieuw Burgerlijk Wetbook (NBW) Belanda, sebagai tambahan syarat yang dapat membatalkan suatu perjanjian diluar kekhilafan (dwaling), ancaman (dwang/bedreging) dan penipuan (bedrog).

Dalam Pasal 3:44 lid 1 Nieuw Burgerlijk Wetbook, disebutkan bahwa perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika adanya:

  1. Ancaman (dwang/bedreiging);
  2. Penipuan (bedrog);
  3. Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden)

Penyalahgunaan Keadaan atau Misbruik van Omstandigheden Di Indonesia

Di Indonesia sendiri aturan mengenai penyalahgunaan keadaan atau mibsruik van omstandigheden ini belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Namun faktanya, doktrin penyalahgunaan keadaan digunakan oleh Hakim untuk mengambil putusan yang membatalkan suatu perjanjian.

Penyalahgunaan keadaan dianggap sebagai keadaan yang dapat menyebabkan batalnya suatu perjanjian, karena terdapat cacat kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian sehingga perjanjian dibuat tidak dengan kesepakatan yang sempurna diantara para pihak.

Maka, jika terdapat penyalahgunaan keadaan, dapat dipastikan perjanjian tersebut dibuat tidak dengan kehendak bebas dari kedua belah pihak, yang merugikan salah satu pihak.

Sehingga konsep penyalahgunaan keadaan secara langsung dibenturkan dengan aturan Pasal 1320 KUHPerdata, khususnya terhadap “kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya”, sehingga yang mengakibatkan cacat kehendak para pihak terhadap perjanjian yang dibuat.

Adapun contoh putusan hakim mengenai misbruik van omstandigheden salah satunya pada Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 2356 K/Pdt/2008, yang mana perjanjian jual beli yang dibuat dibawah tekanan dan dalam keadaan terpaksa dapat mengakibatkan perjanjian  dibatalkan, karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur pasal 1320 KUH Perdata, sebab tidak ada kehendak yang bebas dari pihak Penggugat sebagai salah satu pihak dalam perjanjian.

Perjanjian tidak bisa batal dengan sendirinya, kecuali itu merupakan kesepakatan para pihak. Satu-satunya lembaga yang dapat menilai dan membatalkan perjanjian adalah Peradilan. Pembatalan perjanjian harus diajukan melalui Pengadilan sesuai dengan hukum yang bisa dilakukan sendiri atau melalui Kuasa Hukum (Advokat)

M. Andi Anwar SH., MH.

Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 2356 K/Pdt/2008

Posisi kasusnya, Penggugat merupakan pemilik sertifikat merek dari Etiket merek ARISE SHINE CES dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual cq. Direktorat Merek, dengan nomor pendaftaran 477275 tanggal 22 Mei 2001. Kemudian pada tanggal 8 Agustus 2006, Tergugat I dan Tergugat II, melaporkan Penggugat ke POLWILTABES Semarang dengan dalih adanya pelanggaran Hak Cipta penggunaan logo ARISE SHINE CES.

Atas laporan tersebut POLWILTABES Semarang melakukan serangkaian pemeriksaan dan pada tanggal 5 Oktober 2006 mengeluarkan surat penahanan terhadap Penggugat. Selama Penggugat berada dalam rumah tahanan POLWILTABES Semarang, Tergugat I telah memaksa Penggugat untuk mengalihkan merek milik Penggugat kepada Tergugat I dengan cara Penggugat menjual merek ARISE SHINE CES kepada Tergugat I sebesar Rp. 150.000.000.- Penggugat juga harus membayar kepada Tergugat II, uang sebesar Rp. 400.000.000,- untuk mengeluarkan Pengggugat dari tahanan setelah Tergugat II mencabut laporan Polisi ke Kepolisian Wilayah Kota Besar Semarang pada tanggal 6 Oktober 2006. Kemudian POLWILTABES Semarang menerbitkan surat perintah Pengeluaran Tahanan terhadap diri Penggugat pada tanggal 7 Oktober 2006 dan selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 2006 diterbitkan surat ketetapan tentang Penghentian Penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti.

Putusan Mahkamah Agung No. 2356 K/Pdt/2008 tanggal 18 Februari 2009, perjanjian jual beli yang dibuat dibawah tekanan dan dalam keadaan terpaksa merupakan “misbruik van omstandigheden” yang dapat dibatalkan karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320 KUH Perdata

Bahwa Penggugat kemudian mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Semarang:

  • Putusan perkara No. 237/Pdt.G/2006, tanggal 28 Juni 2007 yang pada pokoknya mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, diantaranya menyatakan perjanjian perdamaian dan perjanjian jual beli merek yang dibuat dan ditandatangani oleh Tergugat II dengan Penggugat pada tanggal 6 Oktober 2006, batal demi hukum.
  • Putusan ditingkat banding di Pengadilan Tinggi Semarang, putusan Pengadilan Negeri Semarang tersebut telah dibatalkan dengan putusan No. 45/Pdt/2008/PT.Smg., tanggal 17 Oktober 2008, dengan amar putusan menolak gugatan Penggugat Konpensi / Tergugat Rekonpensi untuk seluruhnya.
  • Putusan di tingkat kasasi di Mahkamah Agung RI dalam perkara No. 2356 K/Pdt/2008 tanggal 18 Februari 2009, putusan Pengadilan Tinggi Semarang tersebut telah dibatalkan dan selanjutnya mengadili sendiri, dengan mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, diantaranya menyatakan perjanjian perdamaian dan Perjanjian Jual Beli merek yang dibuat dan ditandatangani oleh Tergugat II dengan Penggugat, pada tanggal 6 Oktober 2006, batal demi hukum.

Mahkamah Agung setelah memeriksa perkara a quo, dalam pertimbangannya memberikan pendapat, bahwa Judex Factie (Pengadilan Tinggi Semarang) telah salah menerapkan hukum, oleh karena Pengadilan Tinggi tidak mempertimmbangkan keadaan Penggugat, pada saat dibuatnya perjanjian jual beli, yaitu Penggugat ditahan oleh Polisi, karena laporan dari Tergugat I dan Tergugat II untuk menekan Penggugat agar mau membuat atau menyetujui perjanjian jual beli tersebut. Hal tersebut merupakan “misbruik van omstandigheden” yang dapat mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan, karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur pasal 1320 KUH Perdata yaitu tidak ada kehendak yang bebas dari pihak Penggugat.

Maka atas dasar Putusan Mahkamah Agung tersebut, perjanjian jual beli yang dibuat dibawah tekanan dan dalam keadaan terpaksa merupakan “misbruik van omstandigheden” yang dapat dibatalkan karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320 KUH Perdata.

Postingan Lainnya

Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden) Membatalkan Sebuah Perjanjian

Sebagaimana yang diketahui, pada umumnya suatu Perjanjian harus dibuat dengan memenuhi standart aturan pejanjian yang…

Pemakzulan, Sejarah proses dan tatacaranya di Indonesia

Akhir-akhir ini isu mengenai pemakzulan Presiden kian santer terdengar, walaupun dalam beberapa tahun belakangan isu…

Beli Tanah Harus Dengan Itikad Baik

Hati-hati dalam membeli tanah, sering kali terjadi sengketa pertanahan akibat jual beli tanah, yang didasari…